Mengedepankan Komunikasi Persuasif dalam Program Vaksinasi Covid-19

I Made Suyasa

Redaksi9.com - Dalam sebuah percakapan di WhatsApp Group (WAG) yang saya ikuti, salah seorang anggota grup meneruskan sebuah infografis berlogo Kementerian Kesehatan. Infografis tersebut memuat narasi bahwa bukan suatu masalah jika tidak datang saat diberi kesempatan vaksin Covid-19 secara gratis. Namun ketidakhadiran itu memiliki konsekuensi.

"Namun ketika nanti semua persyaratan administrasi mensyaratkan anda wajib menunjukkan bukti vaksinasi Covid-19... mohon maaf dan kesempatan itu sudah lewat," bunyi narasi pada infografis itu. Pada bagian akhir seolah-olah narasi pada infografis itu merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 14/2021 Pasal 13A.

Belakangan infografis yang bernada ancaman itu dibantah pihak Kementerian Kesehatan dan mengklarifikasi secara langsung bahwa infografis tersebut tidak pernah dikeluarkan oleh Kemenkes RI. Namun, infografis itu telah beredar luas dan banyak masyarakat yang mempercayainya.

Jika kita telusuri Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 Pasal 13A diatur terkait konsekuensi atau ganjaran yang diterima oleh siapapun jika telah ditetapkan sebagai penerima vaksin. Mereka wajib menerima vaksin dan akan mendapat sanksi bila menolak vaksin tersebut.

Seperti yang kita ketahui bersama, di tengah melonjaknya kasus Covid-19 ini, pemerintah telah menggalakkan program vaksinasi Covid-19 sejak pertengahan Januari 2021 lalu.

Pemberian vaksinasi dimulai dari Presiden Joko Widodo pada 13 Januari 2021 diikuti pejabat negara juga tokoh masyarakat.

Kemudian dilanjutkan dengan kelompok prioritas seperti tenaga kesehatan, anggota TNI/Polri, lansia, pelayan publik, dan seterusnya.

Selanjutnya, dalam program vaksinasi ini setiap orang yang telah terdata dan menjadi sasaran vaksinasi memiliki kewajiban untuk melakukan vaksinasi.

Kewajiban itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 14/2021 tentang perubahan atas Perpres Nomor 99/2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

Maraknya isu hoaks tentang tentang vaksin dan vaksinasi khususnya di media sosial tidak terlepas dari tingginya pengguna internet di Indonesia, yakni mencapai 89 persen dari jumlah penduduk.

Di tengah pandemi Covid-19, media sosial berperan sebagai infodemik berupa penyebaran berita-berita palsu seputar wabah Covid-19 ini. Kondisi ini diperparah lagi dengan masyarakat yang mudah percaya dengan hoaks, karena kecenderungan 'click bait' membaca dan menyimpulkan secara cepat.

Oleh karena itu, media massa dan media sosial memiliki peranan yang cukup penting untuk membangun sikap cerdas, bertanggung jawab terhadap proses penyebaran informasi agar tidak membawa dampak negatif dan kehidupan kebangsaan kita makin baik.

Banyaknya berita-berita hoaks, postingan-postingan, ceramah, video yang justru bukan membuat cerdas tetapi menumpulkan kecerdasan bahkan membuat kita tidak positif dalam menghadapi pandemi, seperti berita tentang konspirasi, tentang hal-hal yang menganggap virus ini buatan sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin Covid-19 ini.

Di tengah merebaknya berbagai isu hoaks tentang tentang vaksin dan vaksinasi khususnya di media sosial, mayoritas masyarakat Indonesia mengikuti program vaksinasi Covid-19 tersebut. Saya sendiri sempat ragu mengikuti program vaksinasi ini terlebih setelah membaca berita negatif dan hoaks yang berseliweran di media sosial, namun akhirnya mengikuti program vaksinasi tersebut.

Syukurlah semuanya bisa berjalan dengan baik dan lancar, meski ada juga yang menolak program tersebut. Salah satu alasannya adalah tidak yakin terhadap keamanan maupun efektivitas vaksin Covid-19 dan mengkhawatirkan efek samping di kemudian hari.

Alasan penolakan itu merupakan hal yang wajar, terlebih media juga cukup gencar memberitakan adanya korban yang meninggal dunia setelah mengikuti program vaksinasi.

Ancaman terhadap masyarakat yang menolak program vaksinasi ini, juga sempat dilontarkan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Prof. Edward OS Hiariej.

Seperti dilansir sejumlah media massa Wamenkumham menyebutkan, orang yang menolak vaksinasi dapat dikenakan sanksi hukuman penjara dan denda hingga ratusan juta. Hal ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

UU menyatakan bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bisa dipidana, yakni penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp 100 juta.

Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, tentu tidak elok jika seorang pejabat mengeluarkan ancaman dan menakuti-nakuti masyarakat tentang adanya ancaman pidana terhadap para penolak vaksin Covid-19.

Seharusnya pemerintah menggunakan cara persuasif agar masyarakat mau mengikuti program vaksinasi ini agar pandemi Covid-19 ini segera berlalu.

Edukasi masyarakat tentang pentingnya mengikuti program vaksinasi ini jauh lebih baik dan penting ketimbang menebar ancaman dengan menjatuhkan sanksi. Di sinilah pentingnya mengedepankan komunikasi persuasif agar program vaksinasi Covid-19 ini berjalan dengan efektif.

Menurut para ahli, komunikasi persuasif merupakan sebuah cara berkomunikasi dengan tujuan yang jelas dan terarah, di mana tujuan tersebut adalah untuk mengubah perilaku seseorang yang dijadikan target komunikasi atau biasa disebut komunikan.

Sementara teknik komunikasi persuasif adalah sebuah cara atau teknik menyampaikan pesan atau informasi pada saat melakukan proses komunikasi dengan orang lain dengan cara membujuk atau mempengaruhi orang tersebut dengan cara yang halus dan sopan.

Tujuan dari komunikasi persuasif adalah untuk mencapai keinginan dari seseorang yang memberikan komunikasi atau komunikator. Komunikasi persuasif dalam penggunaannya itu sendiri harus memberikan perhatian kepada lawan bicara, agar lawan bicara tersebut memiliki minat atau hasrat yang kuat untuk mengambil sebuah aksi atau keputusan.

Dalam komunikasi persuasif, proses penyampaian pesan harus dilakukan dengan baik. Artinya seorang komunikator atau pejabat publik dalam menyampaikan pesan tidak bertele-tele dan langsung pada pokok pembicaraan. Jika penyampaian pesan tersebut dilakukan dengan baik, maka sikap dan perilaku komunikan dapat dipastikan akan berubah mengikuti kemauan komunikator.

Namun, jika penyampaian pesan yang dilakukan oleh seorang komunikator tersebut terkesan bertele-tele, tidak memiliki solusi atau bahkan terkesan memaksa, maka dapat dipastikan komunikan akan pergi dan menghindar sehingga proses komunikasi menjadi tidak efektif.

Dalam proses komunikasi, seorang komunikan tentu harus diberi kebebasan sepenuhnya untuk melihat baik dan buruknya sebuah pesan yang disampaikan.

Jangan memaksa komunikan agar mengikuti perkataan, tapi berusahalah agar dia mengikuti perkataan komunikator atas kesadaran sendiri. Karena jika seorang komunikan merasa dirinya tidak bebas atau cenderung dipaksa, kemungkinan besar komunikan tersebut akan berontak dan membantah semua perkataan yang diucapkan atau disampaikan komunikator.

Proses komunikasi persuasif ini harus dipahami dengan baik, terlebih jika menjadi seorang pejabat publik sehingga informasi yang disampaikan bisa mengangkau publik dengan baik dan tidak berujung blunder.

Seorang pejabat publik harus dalam melakukan proses komunikasi harus benar-benar mempertimbangkan dampaknya agar komunikasi bisa berjalan dengan baik dan efektif. *

I Made Suyasa
*) Penulis adalah Dosen di Prodi Ilmu Komunikasi Undiknas University.

TAGS :

Komentar