Gubernur Bali Sependapat dengan DPRD Bali, agar BUPDA tidak Berbenturan dengan BUMDes

Wagub Cok Ace membacakan jawaban Gubernur Baili dalam Rapat paripurna DPRD Bali

Redaksi9.com –  Gubernur Bali Wayan Koster sependapat dengan  Pandangan Umum Fraksi PDI Perjuangan, bahwa pengelolaan dan pengawasan Badan Usaha Padruwen Desa Adat (BUPDA)  dilakukan secara profesional dan modern dengan tata kelola berdasarkan hukum adat yang menerapkan prinsip nilai adat, tradisi, budaya dan kearifan local. Selain itu,  mempertegas dan mengoptimalkan peran Desa Adat di Bali yang otonom memiliki tugas ekonomi, sosial, adat budaya, dan keagamaan untuk memelihara kesucian dan keharmonisan alam Bali.


Hal itu  disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Bali, yang  mengagendakan Jawaban Gubernur Bali Terhadap Pandangan Umum Fraksi-fraksi atas, Raperda Provinsi Bali tentang Baga Utsaha Padruwen Desa Adat di Bali, dan Raperda Provinsi Bali tentang  Perubahan Ketiga Atas Perda Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, Senin (7/6). 


Terhadap Pandangan Umum Fraksi Partai Golkar, ia menyampaikan,  lebih mempertimbangkan penggunaan kata “mengatur” dalam konsep BUPDA, karena fungsi pengaturan tetap diperlukan untuk hal-hal tertentu yang bersifat standarisasi sebagai acuan dalam pembuatan statistik perekonomian Desa Adat serta pedoman yang diperlukan dalam rangka efektivitas fungsi sistem perekonomian Adat Bali. 


“Saya sependapat mengenai perlunya pengaturan usaha-usaha yang dikelola oleh BUMDes, BUPDA, dan Masyarakat sebagai rambu-rambu agar tidak terjadi konflik dan persaingan yang tidak sehat,” kata Wagub Tjokorda Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace)  yang dalam kesempatan itu membacakan jawaban Gubernur Bali. 


Terkait pendapat mengenai bentuk dan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh SAKA Bali, sehingga menjadikan BUPDA seolah-olah terkesan terkooptasi oleh eksistensi SAKA Bali, Gubernur mengatakan,  sistem perekonomian adalah integrasi sistematis dari berbagai komponen perekonomian untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem perekonomian harus mempunyai  lembaga otoritas yang berfungsi dan bertanggung jawab mengelola sistem melalui pengaturan, pengawasan, dan pembinaan. 


“SAKA Bali merupakan lembaga otoritas untuk memastikan Sistem Perekonomian Adat Bali berjalan secara sehat dan profesional, tidak untuk mengkooptasi BUPDA,” katanya.  Pengaturan sumber pendanaan SAKA Bali bersifat alternatif atau komulatif, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi keuangan Pemerintah Daerah dan keuangan BUPDA, serta dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya.

Menurutnya, pengaturan yang dilakukan MDA dan SAKA Bali terbatas pada pemberian pedoman yang diperlukan dalam rangka pengelolaan Sistem Pemerintahan  Desa Adat di Bali dan Sistem Perekonomian Adat Bali untuk memastikan semuanya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan pemajuan Desa Adat dan pemajuan perekonomian Desa Adat.


Terhadap Pandangan Umum Fraksi Partai Gerindra dan Fraksi Partai Demokrat, Gubernur  mengatakan, sependapat agar BUPDA tidak berbenturan dengan BUMDes. Dalam Raperda telah diatur bahwa BUPDA dan BUMDes harus bekerjasama dan bersinergi dalam melaksanakan usahanya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) yaitu BUPDA dalam melaksanakan bidang usaha dapat bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Desa atau pihak lain.


“Terkait posisi Pemerintah apabila Desa Adat mengelola sumber daya sejenis Perusahaan Daerah yang sudah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan, Perda, atau Perbup/Perwali, bahwa pada prinsipnya BUPDA dalam hal mengelola usaha milik Desa Adat, posisi Pemerintah Daerah adalah sebagai fasilitator. Dalam hal BUPDA mengelola fasilitas umum atau usaha milik Pemerintah, maka posisi Pemerintah Daerah adalah sebagai regulator,” jelasnya. 
Terkait posisi LPD terhadap BUPDA yang juga dimintakan penjelasan oleh fraksi Demokrat, Gubernur mengatakan, usaha Desa Adat mencakup usaha di sektor keuangan yang dilakukan oleh LPD serta usaha di sektor riil yang mencakup kegiatan produksi, distribusi/perdagangan, dan jasa dilakukan oleh BUPDA. Sehingga posisi antara BUPDA dengan LPD saling mendukung dalam rangka penguatan perekonomian Desa Adat.


Sementara, Masa Jabatan pengelola BUPDA, masa jabatan pengelola BUPDA memang diatur opsional untuk paling lama 3 (tiga) kali masa jabatan, dengan pertimbangan memadukan antara kebutuhan kontinuitas regenerasi dengan kontinuitas kinerja.


Terhadap Pandangan Umum Fraksi Nasdem-PSI-Hanura, Gubernur Koster sependapat agar BUPDA dikelola secara profesional dan modern sehingga mampu bersaing dengan sektor usaha lain serta mendorong Pemerintah Provinsi untuk melakukan monitoring mengarahkan bidang usaha yang menjadi potensi bagi Desa Adat yang bersangkutan. (ira)

TAGS :

Komentar