Redaksi9.com - Dalam salah satu postingan di WhatsApp Group (WAG) yang saya ikuti, ada anggota grup menginformasikan program kuliah gratis yang ditawarkan salah satu perguruan tinggi swasta (PTS).
Tentu saja postingan itu direspons positif, karena di tengah terpuruknya kondisi perekonomian seperti sekarang ini, kuliah gratis ini adalah tawaran yang sangat menarik.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, secara spontan saya mengecek perguruan tinggi tersebut di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti).
Hasil pelacakan melalui laman https://pddikti.kemdikbud.go.id/, PTS yang dimaksud boleh dibilang kurang sehat. Mahasiswanya masih sedikit, dosennya juga belum memenuhi rasio, sehingga terlihat ada warna merah.
Pertanyaannya adalah, mengapa berani menawarkan program kuliah gratis? Apakah ini hanya strategi untuk menjaring mahasiswa atau PTS sudah mulai terjebak dalam "perang" promosi.
Kasus lain yang terjadi di salah satu PTS, meskipun kondisi keuangannya sudah morat-marit, karena banyak mahasiswanya tak mampu membayar biaya kuliah dan mengajukan penangguhan, juga ikut-ikutan menawarkan program kuliah gratis. Bebas biaya pendaftaran dan bebas biaya kuliah sekian semester.
Padahal, PTS tersebut baru saja mengeluarkan kebijakan menurunkan gaji dosen dan karyawan, termasuk melakukan pengurangan jumlah karyawan di tengah pandemi Covid-19 ini.
Menyedihkan memang, tapi mau bagaimana lagi itu adalah realita yang mungkin saja cukup menyakitkan. Tapi mengapa dengan gagahnya menawarkan program kuliah gratis? Ini pertanyaan yang cukup membingungkan, karena yang saya tahu operasional pendidikan itu sangat mahal, terlebih jika mau mewujudkan program pendidikan yang berkualitas dan bisa memenangkan persaingan.
Sudah menjadi tradisi, ketika penerimaan mahasiswa baru, sejumlah perguruan tinggi
sudah sibuk memasang spanduk, iklan di berbagai media baik elektronik maupun cetak. Berbagai program studi ditawarkan, termasuk program kuliah dengan biaya murah bahkan gratis sekalipun. Semua trik marketing pun dilakukan mulai dari promosi ke sekolah-sekolah, termasuk menyebar informasi melalui "website" kampus, media sosial dan media "online" lainnya.
Terpuruknya perekonomian di tengah pandemi Covid-19 ini, banyak PTS yang kondisinya terseok-seok. Banyak juga PTS yang terpaksa menutup program studinya dan "gulung tikar" karena kalah saing. Bangkrutnya sejumlah PTS tersebut tentu saja disebabkan kurangnya minat calon mahasiswa yang mau mendaftar pada PTS tersebut.
Ketika hal ini terjadi, PTS yang mengandalkan dana masyarakat tersebut tidak mampu membiayai operasional pendidikan. Terlebih jika jumlah mahasiswanya sedikit, kecil kemungkinan PTS tersebut bisa berkembang, karena sumber dana sebagian besar berasal dari mahasiswa. Dalam kondisi seperti ini, sejumlah PTS dalam kondisi terseok-seok pun tetap memaksakan diri dan beroperasi dengan berbagai keterbatasan.
Perubahan yang kian cepat di tengah arus globalisasi dan industrialisasi, tentu saja berdampak signifikan terhadap sektor pendidikan tinggi. Saat ini persaingan di kalangan perguruan tinggi sangat ketat.
PTS yang tidak adaptif dengan perubahan yang begitu cepat terlebih mengabaikan kualitas pendidikan dipastikan akan kalah saing dan "gulung tikar". Apalagi jika PTS tersebut pengelolaan keuangannya amburadul, sarana dan prasarana minim, rendahnya kualitas kepemimpinan dan sumber daya manusia, dan di internal PTS tersebut terjadi persaingan yang tidak sehat.
Masalah yang dihadapi sejumlah PTS saat ini, tentu saja tak bisa dilepaskan dari dampak industrialisasi terhadap sektor pendidikan tinggi. Industrialisasi ini mengantarkan dunia pendidikan tinggi mulai memanfaatkan perkembangan teknologi yang cukup pesat, manajemen modern, dan teknik pemasaran jasa yang makin maju dan agresif.
Proses perkuliahan menjadi makin pendek, proses kelulusan juga makin mudah. Perguruan tinggi kini mulai memperhatikan efisiensi dan efektivitas, lengkap dengan "perang" promosi yang menggiurkan untuk bisa mendapatkan calon mahasiswa sebanyak-banyaknya.
Bagi PTS yang tidak siap dengan persaingan dan industrialisasi, tentu akan sulit bertahan dan akhirnya bangkrut.
Lantas bagaimana supaya PTS tetap bisa eksis? Salah satu strategi yang bisa diterapkan di tengah makin maraknya "perang" promosi ini adalah dengan memberikan pelayanan yang baik dan meningkatkan kualitas pendidikan. Saat ini persaingan di kalangan PTS sudah makin ketat.
Jika tidak mau bersaing, tentu saja akan ditinggalkan mahasiswa, Jika kualitas makin baik, tentu saja akan dicari mahasiswa. Demikian pula, jika kualitasnya meragukan, ditawarkan program pendidikan gratis pun calon mahasiswa akan berpikir seribu kali dan enggan untuk kuliah di PTS tersebut. *
I Made Suyasa
Penulis adalah dosen salah satu PTS di Bali.