Biaya Pendidikan Gratis, Mungkinkah?

I Made Suyasa

Redaksi9.com - Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia termasuk di Indonesia, di samping menyebabkan kepanikan luar biasa juga meluluhlantakkan seluruh sektor kehidupan.

Selain berdampak signifikan terhadap sektor perekonomian, sektor pendidikan juga turut terkena dampak yang cukup fatal. Kegiatan belajar mengajar terpaksa harus dilakukan dalam jarak jauh, meskipun dari kebijakan ini banyak pihak yang belum siap untuk melaksanakan pembelajaran melalui jarak jauh atau yang dikenal dengan sebutan daring.

Banyak kalangan yang ternyata tidak bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar jarak jauh, karena terbatasnya kemampuan masyarakat dan banyak di antaranya tidak memiliki perangkat yang menunjang pembelajaran jarak jauh, belum lagi persoalan kuota internet yang harganya dinilai masih cukup tinggi di tengah kondisi perekonomian seperti sekarang ini.

Kondisi perekonomian yang terpuruk, tentu saja berimbas pada sektor pendidikan. Saat ini banyak perguruan tinggi, terlebih dengan jumlah mahasiswa yang sedikit terengah-engah untuk mempertahankan hidupnya akibat pandemi Covid-19. Mereka kesulitan untuk mempertahankan operasionalnya (kegiatan perkuliahan) karena beragam penyebab. Di antaranya, sulit menyelenggarakan sistem perkuliahan secara daring (online) karena infrastruktur teknologi informasi di kampus yang kurang mendukung atau bisa juga karena dosennya kurang adaptif.

Di samping itu, beberapa perguruan tinggi sudah ada yang melakukan pengurangan jumlah pegawai termasuk memangkas gaji dosen dan pegawai karena kondisi keuangan yang terpuruk akibat banyaknya mahasiswa yang tidak bisa membayar biaya pendidikan.

Persoalan lain di tengah pandemi Covid-19 ini adalah, sejumlah mahasiswanya tak bisa kembali lagi ke kampus. Alasannya, orangtua atau mahasiswa itu sendiri menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga tak mampu lagi membiayai kuliahnya.

Saat ini sejumlah perguruan tinggi kesulitan merekrut mahasiswa-mahasiswa baru. Alasannya, tentu saja di samping kurang adaptif dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, juga sudah terlanjur terbiasa dengan skema rekrutmen tradisional yang membutuhkan kehadiran secara fisik. Di samping itu, banyak orangtua yang tak lagi mampu membiayai pendidikan anaknya, entah karena mereka menjadi korban PHK, perusahaannya tutup, atau bisnisnya menyusut drastis.


Dalam kondisi seperti ini, mungkinkah kita menyelenggarakan pendidikan gratis? Jika kita merujuk Pembukaan UUD 1945 alinea pertama disebutkan:“Bahwa sesungguhnya, kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Kemerdekaan di sini tidak sekadar mengandung hak berdaulat atau mengatur bangsanya sendiri, tetapi juga mengandung makna sekaligus amanah bahwa hak warga atau rakyat dalam status bangsa tersebut secara bebas, merdeka dan otonom mengembangkan dirinya.

Selanjutnya pada alinea keempat, ditegaskan pula: "Mencerdaskan kehidupan bangsa", kemudian ditutup dengan sila-sila dari Pancasila. Hal ini lebih menegaskan bahwa negara mempunyai tanggung jawab yang besar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

Sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) kini sudah mulai menawarkan program pendidikan gratis. Pertanyaannya adalah apakah itu memang program yang sudah diperhitungkan dengan matang, hanya sebatas wacana atau strategi untuk menggaet mahasiswa di tengah minimnya pendaftaran mahasiswa baru. Bahkan salah seorang kawan saya dengan sinis mengatakan program pendidikan gratis adalah omong kosong.

Faktanya, PTS yang menawarkan program pendidikan gratis seperti itu, kesejahteraan dosen dan karyawannya sangat rendah dan cenderung diabaikan, belum lagi sarana dan prasarana yang terbatas sehingga berdampak terhadap kualitas. Dalam jangka panjang, bisa saja PTS tersebut akan kalah saing dan ditinggalkan karena dinilai tidak berkualitas dan asal-asalan.

Program pendidikan gratis bisa saja diterapkan jika tersedia dana operasional. Pertanyaannya siapa yang menyediakan dana? Tentu saja ini adalah tanggung jawab pihak yang memrogramkan pendidikan gratis. Jika yang menawarkan program pendidikan gratis itu adalah yayasan, tentu pihak yayasannya yang semestinya mengupayakan pendanaannya, sehingga mahasiswa tidak terbebani dengan biaya pendidikan bukan malah membebankan atau menyerahkan sepenuhnya kepada PTS yang dinaunginya.


Jika program pendidikan gratis ini tidak didukung dengan kebijakan-kebijakan lain menyangkut pendanaan, sama halnya omong kosong. Artinya, bukan proses pendidikan yang memadai akan didapatkan, namun proses pendidikan yang penuh dengan masalah yang akan ditemui. Dosen akan menjadi kurang semangat menjalankan proses pembelajaran karena gaji yang diberikan jauh dari kata layak, demikian juga pegawai tentu akan "ogah-ogahan" dalam melayani karena gaji yang diterimanya tidak layak.

Kita tidak tutup mata dengan realitas penduduk kita saat ini yang masih banyak yang tergolong miskin dan berpenghasilan rendah. Mereka yang tergolong miskin, dengan kondisi pendapatan (penghasilan) yang minim akan kesulitan dalam merealisasikan tabungan, dan akhirnya investasi untuk ke pendidikan pun juga menjadi terbatas bahkan tidak terjangkau. Kepedulian pemerintah terhadap sektor pendidikan sebenarnya sudah cukup tinggi.

Pemerrintah terus berkomitmen untuk fokus meningkatkan pembangunan sumber daya manusia melalui berbagai upaya cerdas. Bantuan dana UKT dan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-Kuliah) adalah salah satu upaya untuk membantu asa para siswa yang memiliki keterbatasan ekonomi tetapi berprestasi untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Namun, kuota untuk KIP-Kuliah ini jumlahnya masih terbatas dan tidak semua mereka dengan kategori miskin bisa mendapatkannya.

Berangkat dari persoalan ini, lembaga pendidikan tinggi termasuk yayasan yang mengelola lembaga pendidikan tinggi membuat perencanaan yang matang dan mempersiapkan alternatif-alternatif pemecahan masalah guna memenuhi kebutuhan pendidikan secara realistis, harus berpedoman pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara jelas dan rinci. Kunci keberhasilan sebuah perencanaan tersebut tentu saja kembali pada sejauh mana kepedulian, sikap serta perilaku jujur dalam menyusun rencana tersebut jadi bukan asal membuat program pendidikan gratis, namun sarana dan prasarananya sangat minim dan kesejahteraan mereka yang terlibat di dalamnya terabaikan. *

*I Made Suyasa
Penulis adalah dosen salah satu PTS di Bali

TAGS :

Komentar