Redaksi9.com - Ketika saya membuka aplikasi jejaring sosial Facebook di ponsel, di beranda jejaring sosial saya banyak yang memposting soal dulang, yakni nampan yang biasanya berbibir pada tepinya dan berkaki serta terbuat dari kayu.
Awalnya saya tidak begitu tertarik dengan postingan soal dulang tersebut dan membiarkan begitu saja. Namun, saking banyaknya pengguna medsos yang memposting dan berkomentar soal dulang, akhirnya membuat saya penasaran.
Ada apa dengan dulang? Kok banyak sekali yang memposting dan memperbincangkannya? Komentarnya ada yang serius, ada juga yang menanggapi dengan nada bercanda. Iseng-iseng saja saya 'search' di Google, ternyata maksud dari postingan "dulang" itu adalah beredarnya percakapan via WhatsApp (WA) yang diposting oleh sebuah akun Facebook.
Pemilik akun tersebut memposting 'screenshoot' sejumlah percakapan melalui WA yang mengaku salah seorang 'sulinggih" dengan seorang perempuan yang memang sering 'ngayah' ke 'griya' (kediaman) 'sulinggih' itu.
Dalam 'screenshoot' percakapan via WA tersebut, 'sulinggih' tersebut meminta bantuan ke perempuan tersebut untuk menemaninya keluar sambil membeli dulang dan mengajak perempuan itu ke hotel dengan meminta untuk tidak memberitahukan siapa pun.
Percakapan via WhatsApp yang tersebar luas di medsos tersebut tentu saja menghebohkan dunia maya dan postingan soal dulang itu pun menjadi viral.
Dalam tulisan ini, saya tidak membahas soal kelanjutan kasus "dulang" tersebut, namun fokus pada proses penyebaran informasi melalui medsos yang kadang tampak "kejam".
Tak peduli apakah informasi itu benar atau tidak. Kebiasaan sebagian pengguna medsos adalah
dengan cepat menyebarluaskan informasi yang muncul di beranda media sosialnya, entah itu benar atau tidak, yang penting 'share'.
Hadirnya media 'online' di era globalisasi ini, tentu saja menambah jumlah media baru ('new media') untuk menyebarkan informasi kepada pembacanya.
Media baru ini merupakan salah satu produk teknologi informasi yang telah berhasil merambah dunia baru melalui jaringan internet.
Media baru ini akses jaringannya sangat cepat, murah dan mudah. Kelebihan yang dimiliki media baru ini mampu "menghipnotis" publik atau khalayak luas, sehingga menjadi sangat tergantung dengan media baru ini.
Media sosial adalah salah satu media 'online' di mana para penggunanya dengan mudah berbagi, berpartisipasi dan menciptakan isi.
Media sosial mampu mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberikan kontribusi maupun 'feedback' secara terbuka, membagikan informasi, menambahkan komentar dalam waktu yang cepat dan tak terbatas.
Dengan difasilitasi jaringan internet, media sosial sangat memungkinkan untuk menyebarluaskan suatu peristiwa, isu, berita dan bahkan propaganda, mengingat jaringan internet ini jangkauannya sangat luas.
Terlebih dengan didukung perkembangan teknologi yang makin pesat di mana dengan menggunakan ponsel atau 'smartphone' kita dapat mengakses media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter kapan saja dan di mana saja.
Kecepatan informasi yang disebarkan melalui media sosial ini, kini juga mulai menggantikan peranan media massa konvensional khususnya dalam menyebarkan berita-berita.
Bahkan, kini media massa konvensional dan media 'online' banyak yang memanfaatkan jejaring sosial agar berita yang disajikan lebih cepat sampai ke para pembaca atau khayalak luas.
Seperti postingan soal "dulang" yang kini sedang viral di jagat maya, entah informasi itu benar atau tidak. Postingan tersebut tentu saja membuktikan bahwa media sosial banyak menyajikan isu-isu, peristiwa yang kemudian menjadi perbincangan massal.
Kadang peristiwa tersebut belum terbukti kebenarannya, namun menjadi perhatian khusus khalayak luas termasuk media massa.
Isu yang disebarkan melalui media sosial tersebut, kadang "kejam" dan seperti bola liar. Iya, kalau berita yang disebarkan itu benar, kalau tidak tentu akan menjadi persoalan yang serius, karena bisa merusak reputasi seseorang atau lembaga.
Kasus penyebaran informasi bohong di media sosial ini sudah banyak yang dilaporkan ke pihak berwajib karena dinilai mencemarkan nama baik seseorang.
Ada juga yang menempuh jalan damai, yakni meminta maaf karena telah menyebarkan berita bohong yang berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Kebebasan dalam menggunakan media sosial, bukan berarti bebas pula dalam menyajikan kontennya. Siapa pun dapat menulis dan memberikan informasi tentang berbagai peristiwa, tetapi tidak bisa hanya berdasarkan subjektivitas sendiri atau sekadar sesuai keinginan sendiri. Ia tetap terikat pada etika seperti halnya kode etik jurnalistik yang telah lama dipegang para pegiat jurnalistik di Indonesia.
Mengapa etika dalam menggunakan media sosial itu penting? Jawabannya tentu saja karena komunikasi melalui media sosial itu berkaitan erat dengan banyak pihak sehingga tidak terlepas dari etika.
Etika yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pedoman baik tidaknya sebuah proses pelaksanaan komunikasi massa, suatu perilaku yang mencerminkan itikad baik untuk melakukan suatu tugas dengan kesadaran, kebebasan yang dilandasi kemampuan.
Aspek moral atau etika yang harus dipegang teguh adalah objektif, jujur, teliti, tanggung jawab dan kritik yang konstruktif.
Etika di media sosial itu erat kaitannya dengan menyampaikan informasi yang benar, objektif, jujur sesuai fakta yang sesungguhnya, kemudian menggunakan bahasa yang bijak dan sopan, dan yang paling penting adalah hindari kata-kata yang bernada menghasut atau provokatif.
Di samping itu, hindari menyebar 'hoax' yang berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat. *
I Made Suyasa
Penulis adalah tenaga pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Undiknas Denpasar.