Redaksi9.com - Meskipun ekowisata telah diakui sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan pendapatan daerah dan konservasi lingkungan, implementasinya di Indonesia masih jauh dari konsep pembangunan berkelanjutan. Umumnya pengelola destinasi ekowisata yang lebih fokus pada peningkatan jumlah kunjungan daripada melestarikan lingkungan dan budaya lokal. Hal ini menyebabkan dampak negatif, seperti kerusakan ekosistem, penurunan kualitas lingkungan, dan konflik sosial dengan masyarakat setempat.
Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Propinsi Bali, Prof. Dr. Drs. Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, MSi kepada redaksi9, Minggu menyatakan masalah utama yang memengaruhi wilayah agri-maritim adalah sering lupa untuk hidup selaras dengan alam saat memanfaatkannya untuk pariwisata. Dikatakan bahwa beberapa orang menyebutnya sebagai memanfaatkan alam, tetapi menurutnya hal tersebut adalah mengeksploitasi alam untuk hiburan.
“Salah satu cara untuk hidup selaras dengan alam dan melindunginya secara inklusif adalah dengan mengembangkan pendekatan dan perilaku ekowisata yang matang. Memberikan label ekowisata pada suatu kegiatan tidak serta-merta menjadikannya berkelanjutan. Ekowisata hanya berkelanjutan jika berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, serta memberikan manfaat ekonomi.” Kata Wisnumurti saat memberikan sambutan pada Kuliah Singkat dan Kunjungan Wisata dengan teman "Agri-Maritime Ecotourism : Transformative Sustainability in Bali" yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (FP Unwar) pada Selasa (19/8) di Ruang Sidang Sri Ksari Unwar, Denpasar.
Rektor Unwar, Prof. Dr. Ir. I Gde Suranaya Pandit, MP dalam sambutannya mengungkapkan bahwa pariwisata saat ini tidak lagi hanya tentang rekreasi, melainkan pariwisata telah menjadi sarana untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melindungi lingkungan dan mempromosikan keberlanjutan. Tema “Ekowisata Agri-Maritim” sangat relevan bagi Bali sebagai destinasi wisata dunia, karena juga harus ada upaya menemukan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, kemajuan pertanian, dan pelestarian lingkungan.
“Saya sangat menghargai inisiatif yang diambil oleh Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa untuk menyelenggarakan program ini. Acara ini menjadi kesempatan yang tepat bagi semua peserta untuk mengeksplorasi bagaimana konsep Ekowisata Agri-Maritim dapat diterapkan secara efektif. Kursus singkat dan kunjungan lapangan ini akan memberikan wawasan berharga tentang praktik berkelanjutan yang sesuai dengan konteks unik Bali, sekaligus menjadi platform untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan ide inovatif dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan.” Ujarnya
Prof. Dr. Ir. Novisar, M.Si, Guru Besar dari Universitas Andalas yang hadir sebagai narasumber menegaskan untuk mengurangi dampak lingkungan maka harus ada keasadaran untuk menggunakan sumber daya efisien. Begitu juga upaya mengimplementasikan konsep Pembangunan yang berkelanjutan mesti memperhatikan 3 poin dasar, yaitu Pembangunan harus berdampak secara ekonomi, secara social dan juga ramah terhadap lingkungan.
“Dia harus berdampak secara social, kemudian dia juga secara ekonomi juga berdampak baik, kemudian secara lingkungan juga berdampak baik. Secara sosial baik, lingkungan baik, secara ekonomi tidak baik, maka itu juga tidak memenuhi” ujar Novisar.
Ekowisata seharusnya tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan sosial. Tanpa pendekatan yang holistik, Implementasinya akan kehilangan esensi dari ekowisata itu sendiri.
Kegiatan Kuliah Singkat dengan tema Agri-Maritime Ecotourism : Transformative Sustainability in Bali menghadirkan 6 orang pemateri. Pemateri diantaranya Prof. Dr. Ir. Novizar, M.Si dari Universitas Andalas, Prof. Dr. Ir. Djumanto, M.Sc dari Universitas Gadjah Mada, Ts Dr Aida Firdaus MN Azmi dari Universiti Teknologi MARA Malaysia, Assoc. Prof Dr Siti Norasmah Surip dari Universiti Teknologi MARA Malaysia, Dr. Miftahul Huda, S.Si., M.Si selaku Direktur Jasa Kelautan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Dr. Rovina Kobun dari Universiti Malaysia Sabah. (mul-kis)