Redaksi9.com - Terinspirasi dari rerajahan sebagai karakteristik aset visual yang biasanya dipakai sebagai kebutuhan upacara, visual yang memadukan seni tradisi dengan keadaan sosial ini dikemas dengan bersifat komedi dan berwarna cerah.
“Karakteristiknya dikembangkan dari rerajahan yang bentuknya manusia utuh, kepala binatang. Rerajahan itu sebagai pendukung upacara yang berisi mantra atau aksara yang identik dengan seram. Kalau rerajahan lebih ke garis jadi saya reformasi bentuk dan dikembangkan lagi dengan warna cerah seperti kartun, sifatnya komedi secara visual,” ujar perupa Kuncir di studionya pada Jumat (5/7).
Ia mengatakan, sumber penciptaan atau konten-konten yang menjadi inspirasi dalam pembuatan karya diperoleh dari kondisi atau keadaan sosial dengan melibatkan karakter yang selalu ada seperti manusia, alam, dan binatang.
“Ide atau konten berasal dari keadaan sehari-hari bisa dari berita di internet, media sosial yang sering dibahas. Misalnya keadaan modern di Bali kita harus menjaga tradisi. Keadaan modern selalu maju tapi di tradisi waktu itu berjalan lambat,” ujarnya.
Dalam proses penciptaan, ia menerangkan bahwa sesuatu terjadi yang ditorehkan di kanvas berlangsung spontan. Sesuatu yang berlangsung tidak bisa diformulasikan secara runut. Ketika niat untuk melakukan sesuatu di permukaan kanvas tetapi respon yang terjadi tidak demikian.
“Contohnya ketika mau membuat bentuk segitiga dengan tujuan menunjukkan ke khalayak bahwa itu segitiga, ketika sudah dibentuk tapi pertengahan merasa tidak cocok jadi akhirnya segitiganya dibuat banyak dan berulang. Jadi sesuatu yang tadinya mau menunjukkan bahwa itu segitiga, sekarang menyerupai bentuk lain atau bentuk yang tidak bisa dikenali,” kata Kuncir.
Ia menjelaskan, kejutan dalam proses penciptaan terus ada dan sering terjadi. Meskipun diatur tetapi keadaan atau kondisi di studio yang menyebabkan ide yang sudah diatur menjadi di luar aturan namun proses tetap dilanjutkan. Semuanya berlangsung eksperimen di atas kanvas dengan mempertimbangkan bentuk atau elemen visual lainnya meski di pertengahan sering berubah tetapi tetap mengikuti direksi antara perupa dengan karya.
”Kondisinya saya yang ngontrol dan karya itu yang ngontrol keadaan. Karya itu ingin dikontrol seperti ditambahkan, dikurangi dalam urusan visual tapi di satu sisi perupa tetap kekeh dengan ide awal. Kesalahan itu bisa sambil diperbaiki di atas kanvas,” terangnya.
Menurut pengalamannya, ketika dari awal ide tidak ada maka gambar dapat dibuat terlebih dahulu. Automative drawing atau doodling kerap dilakukan. Kadang-kadang, bentuk atau visual itu mengendap di alam bawah sadar. Ketika hendak membuat sesuatu yang sudah ada informasi sebelumnya jadi setelah dibuat baru mengerti apa yang dimaksudkan. Tak jarang ide atau judul terlebih dahulu ada baru visual dapat mengikuti.
“Karya saya bisa dilihat sebagai ilustrasi tapi tidak bisa menceritakan secara penuh. Gambar yang mengilustrasikan seakan-akan ada adegan cerita disana. Dialek diantaranya tidak pernah tahu seperti apa. Karakter selalu kondisinya lagi bergerak,” katanya.
Ia menjelaskan karyanya sebagai gambar Bali era sekarang. “Kita ada roots atau dasar yang jelas yaitu tradisi bali dan tinggal ditkembangkan saja rantingnya entah dari bentuk atau gesture. Ini gaya neo-nya, tinggal ekspansinya ditarik kemana,” pungkasnya.
Penulis: Ni Kadek Ari Septia Santi (Mahasiswa PKL Ilmu Komunikasi Undiknas Denpasar)